Kemiskinan adalah Residu Sistem

Diposting oleh Solo Mata Jawa | 09.03

Kemiskinan bukan (lagi) hal yang alamiah. Ia diciptakan. Ia adalah produk dari suatu permainan politik yang nyaris kalis untuk dibaca. Betapa sakitnya menjadi miskin, betapa sakitnya terbuang di tengah zaman. Kita bahkan tak menyadari apa yang dicokolkan pada akal dan jiwa kita, sebab otak yang tercecer ke dalam mesin pabrik, tak ada yang mau memungutnya kembali.

Maka setiap tetes darah yang tertumpah dari suatu pembunuhan keji, setiap rasa lapar yang merenggut sebuah nyawa, bukanlah kehendak atau takdir tuhan, tapi akibat ketidakpedulian dan kekejaman hati yang dibentuk secara sistematis.

Lihat bagaimana lapar melahirkan hasrat membunuh. Lihat bagaimana kasih sayang dipraktekan dalam tindakan mutilasi. Lihat bagaimana struktur ekonomi memproduk setiap tetes otak kita, membungkusnya ke dalam kemasan kaleng atau plastik lalu menjejalkannya ke dalam batok kepala kita.
Siapa yang menciptakan krisis ekonomi? Jawabannya; tak seorang pun kalangan ekonomi rendah yang menciptakannya. Orang-orang papan ataslah yang menciptakan semua itu. Sektor-sektor ekonomi makro-lah yang menciptakannya; pasar saham, industri dan korporasi multinasional, giga ekspor-impor, kompetensi bank internasional, persaingan militer yang banyak memakan biaya, dan seterusnya.

Tidak mungkin anda tukang angkringan, pedagang lotek, nasi sayur, bakul jamu gendong, buruh pabrik, atau mandor pasar Bringharjo yang melakukannya. Kita terlalu kecil untuk mempola dunia ini. Tapi kitalah yang merasakan akibat terparah dari semua krisis keparat itu.

Jangan bicara soal krisis moral. Sebab yang ada adalah krisis ekonomi yang merusak moral. Jangan ceramahi orang lapar dengan anjuran kebersihan hati, sebab yang lebih membutuhkan itu adalah para eksekutif perusahaan raksasa yang saat ini sedang duduk nyaman dengan wajah tanpa dosa. Rakyat sudah saatnya marah dengan cerdas. Marah terhadap nasib mereka sendiri, terhadap kebodohan mereka sendiri.

Dan jangan anda mengira saya menulis seperti ini karena sok pahlawan. Absolutely No. Justru sebaliknya, saya hanya salah seorang korban dari jutaan korban lainnya. Dan mohon mengertilah bagaimana perasaan para korban pada umumnya. Saya tidak bisa berpura-pura objektif dan berkepala dingin sebagaimana kaum akademisi pengecut yang tertawa-tawa dengan kebersihan hati di balik menara gading universitasnya.

Apalah dunia bagi kita yang hanya bisa berkata-kata, kata seorang teman. Tapi saya lebih memilih untuk meyakini selarik kalimat yang diucapkan tokoh V dalam film “V for Vendetta” yakni “bila tongkat pemukul diganti dengan kata-kata, maka ia akan tetap mempertahankan kekuatannya”.

Lalu apakah yang kita—para korban—inginkan? Kaya, sejahtera, dan jauh dari huru hara. Itulah utopia yang mengandung kebenaran, meski barangkali nyaris mustahil, kecuali jika kita bisa mempertahankan sesedikit apapun yang kita punya, dalam wilayah pribadi kita sendiri. Dan menikmatinya dengan segenap rasa syukur. Tapi sesungguhnya struktur ekonomi apakah yang kita inginkan? Yang kita butuhkan?

Tak lain adalah sistem ekonomi yang terus-menerus terdesentralisasi (ini juga kata salah seorang teman saya). Pokok permasalahan sistem ekonomi kapitalisme saat ini adalah, ia memiliki titik pusat yang sulit dilacak dan terus menerus melakukan peneguhan diri secara serakah. Silahkan pembaca membuktikannya sendiri. Saya hanya curiga, jangan-jangan perusahaan-perusahaan komunikasi komersial kita telah menyerap banyak omset secara “heroik” dari rakyat nusantara ini di saat yang tepat, yakni saat masyarakat kita tengah asil-asiknya euphoria dengan gaya hidup komunikasi.

Setelahnya, perusahaan-perusahaan itu melakukan penurunan harga komoditas yang terlihat seolah-oleh murah hati, padahal itu sewajarnya saja jika kita memabandingkannya dengan situasi pasar negara-negara lain. Pasar memang selalu lebih pintar dari kita. Pasar selalu mampu berfikir dua langkah lebih maju dari kita, itu kenyataannya. Pembeli adalah raja tolol yang dibodohi setiap saat, entah oleh siapa. Itu salah satu taktik peneguhan diri yang mereka lakukan.
Namun dalam sistem ekonomi yang long time decentralization, pasar ditentukan oleg hukum keseimbangan dan equilibrium social principle. Jadi bukan pasar bebas sebagaimana yang tengah berkembang biak saat ini. Dalam pasar bebas, penekanan pola pasar sesunguhnya berujung tombak pada persaingan kekuatan modal dan hak privat-individual. Namun dalam pasar desentralisasi, dari omset berkala setiap perusahaan dikenakan kewajiban sumbangan publik dalam jumlah yang signifikan. Untuk menangani ini, tentunya dibutuhkan suatu badan khusus yang memiliki loyalitas, komitmen, transparansi dan akuntabilitas terhadap publik luas.

Diantara pembaca barangkali ada yang teringat dengan kalimat “kapitalisme harus mawas diri”, sebuah usaha dan harapan yang telah dirintis sejak tahun 80-an oleh kalangan pemikir ekonomi sosialis. Richard De Vos pernah mengusulkan konsep “compassionate capitalism” atau kapitalisme yang memiliki kasih sayang. Dia menganjurkan agar kapitalisme memiliki kepedulian sosial. Memungkinkah jika kita merevitalisasi usaha ini di bumi nusantara? Mumpung, kapitalisme global masih berjalan dalam tahap awal di tanah kita ini.

Membayangkan sistem ekonomi yang terus-menerus terdesentralisasi, saya hanya bisa membayangkan munculnya kembali sistem koperasi yang pernah tumbuh subur dan masif di Indonesia pada dasawarsa 50-an. Sistem koperasi selalu dibatasi sekaligus dilengkapi dengan kewajiban saling membantu. Inilah yang menarik darinya. Namun kita juga perlu kembali meneroka catatan sejarah kita tentang mengapa sistem koperasi tersebut kemudian malah menyusut drastis dan selanjutnya hanya memainkan peranan kecil saja dalam kehidupan ekonomi kita sekarang.

Dengan melihat banyaknya pergerakan eksotopis di banyak lini yang mulai memiliki daya tawar politik yang lumayan, kita mungkin bisa memberi kesempatan pada kapitalisme sekali lagi untuk mawas diri. Bila dia tetap bebal, maka yang akan kita berikan pada mereka adalah mata pisau dari amukan massa yang tak bisa terbendung lagi.

0 komentar