Garis Kemiskinan Kedaluwarsa

Diposting oleh Solo Mata Jawa | 08.58

Standar garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 182.636 per kapita per bulan tidak sesuai dengan kondisi riil saat ini. Standar BPS itu dibuat sebelum harga BBM naik dan tingkat inflasi belum setinggi sekarang, yang sudah mendekati angka 10 persen. Untuk itu, BPS diminta jujur menerapkan kriteria ilmiah dalam menetapkan garis kemiskinan yang rasional dan tidak ikut-ikutan mempolitisasi angka kemiskinan.

Demikian rangkuman pemikiran anggota Komisi XI DPR RI, Dradjad H Wibowo, peneliti senior dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI), Wijaya Adi, pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU) Jhon Tafbu Ritonga, serta pengamat sosial politik yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr Muhadjir Effendy, beberapa waktu lalu.

Dradjad mengatakan, penetapan garis kemiskinan sebesar Rp 182.636 per kapita per bulan oleh BPS belum bisa dikatakan ideal. Pemerintah masih dapat menaikkan garis kemiskinan itu. Angka yang dikeluarkan BPS masih harus dipertanyakan dan masih jauh di bawah standar internasional.

Menurutnya, ada empat hal yang harus diperhatikan pemerintah ketika akan menetapkan garis kemiskinan. Pertama, tingkat inflasi riil yang dirasakan masyarakat. Kedua, daya beli riil masyarakat. Ketiga, pertimbangan tingkat pendapatan secara nasional, dan keempat, pola konsumsi masyarakat.

Drajad menegaskan, garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS masih relatif rendah. Hal yang menjadi persoalan adalah cara mengimplementasikan dalam variabel konkret di lapangan.

Permasalahan selanjutnya terkait dengan ukuran angka rupiah dengan variabel tepat di masyarakat yang menjadi daerah abu-abu dan sering dipermainkan oleh BPS. Hal itu terkait dengan persoalan kredibilitas BPS. Sehingga, dikemukakan angka kemiskinan yang seolah-olah mengalami penurunan, tuturnya.

Persoalan seperti itu, lanjut Dradjad, memerlukan penyelesaian secara akademis. Begitu juga dengan perlunya menaikkan angka garis kemiskinan yang merupakan sebuah pertanyaan ilmiah dan harus dijawab secara teliti.

Selaras dengan itu, Wijaya Adi menyatakan, angka minimal garis kemiskinan adalah Rp 195.000 per kapita per bulan. Bahkan kalau melihat tingginya tingkat inflasi saat ini, angka garis kemiskinan seharusnya bisa lebih dari itu.

Wijaya mengatakan, standar garis kemiskinan sangat rentan terhadap inflasi. Karena itu, BPS seharusnya memperhatikan faktor inflasi ini sebelum menetapkan angka garis kemiskinan.

Bisa saja dalam setahun ada revisi beberapa kali untuk menyesuaikan dengan tingkat inflasi yang ada. Standar saat ini yang dibuat saat inflasi masih 6 persen, tidak lagi bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya, tegasnya.

Menurut Wijaya, selama ini penduduk miskin senantiasa menjadi objek bukan subjek dalam pembangunan. Penduduk miskin selalu menjadi komoditas politik, terutama menjelang pemilu. Sebenarnya cara termudah untuk mengurangi data statistik penduduk miskin adalah dengan menetapkan garis kemiskinan pada titik yang paling rendah. Bikin saja standar kemiskinan Rp 50.000 per kapita per bulan, maka penduduk miskin akan hilang semuanya, ujar Wijaya menyindir.

P2E-LIPI dalam kajiannya beberapa saat setelah kenaikan harga BBM Mei 2008 lalu, memperkirakan bahwa warga miskin tahun 2008 ini akan bertambah menjadi 41,7 juta orang (21,92 persen). Angka itu berarti ada kenaikan penduduk miskin sebesar 4,5 juta dibandingkan posisi 2007.


Pemerintah Mengada-ada

Jhon Tafbu Ritonga mengatakan, bila dilihat secara rata-rata, umumnya pengeluaran orang miskin sebesar Rp 288.000 setiap bulan. Karena itu, standar garis kemiskinan yang tepat seharusnya Rp 9.600 per kapita per hari. Dengan demikian, sasaran pengentasan kemiskinan akan lebih realistis, katanya.

Seorang petani di Deli Serdang, Herman Saleh (46) menambahkan, zaman sekarang sudah tidak ada lagi warga yang bisa hidup dengan pendapatan Rp 182.636 per bulan. Apalagi dengan kenaikan harga BBM serta kenaikan harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini.

Patokan kemiskinan pemerintah sangat bertolak belakang dengan kenyataan di masyarakat. Dengan penghasilan Rp 300.000 saja setiap bulannya, ditambah BLT pemerintah, tidak cukup untuk keperluan rumah tangga. Banyak yang harus dibeli, termasuk biaya sekolah anak dan keperluan lainnya. Mungkin tidak ada lagi warga yang berpenghasilan Rp 182.636 setiap bulannya. Pemerintah jangan mengada-ada, katanya.

Muhadjir Effendy menegaskan, garis kemiskinan BPS telah mengalami pengaburan, distorsi, dan penyimpangan terhadap realitas kemiskinan di Indonesia. Karena itu, sebaiknya pemerintah tidak malu-malu menerapkan dobel kriteria, yakni kombinasi antara metodebasic need approach dan income approach.

Kita tidak usah malu-malu, jika dari metode kombinasi itu nantinya terdapat banyak warga kita yang masuk kriteria miskin. Pemerintah dan bangsa Indonesia tidak perlu malu, karena dengan begitu dapat menyelesaikan per- soalan kemiskinan ini dengan jujur, katanya.

Ia mengingatkan, kalau kita jujur menyajikan data akan memudahkan menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Tetapi sebaliknya kalau kita tidak jujur, permasalahan pasti akan berkepanjangan. Bahkan dalam tingkat yang ekstrem bisa dituding sebagai kebohongan publik.

0 komentar