Pekan Sosialisasi Masal

Diposting oleh Solo Mata Jawa | 23.14

PNPM Mandiri Perkotaan Kelurahan Jebres Surakarta

Tahapan Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri perkotaan (PNPM MP) senantiasa diawali dengan tahap sosialisasi. Sosialisasi awal yang dilaksanakan pada saat masuknya PNPM MP di Kelurahan Jebres perlu dilanjutkan dengan sosialisasi terus menerus dan berkesinambungan.

Salah satu kegiatan yang mendukung pengenalan PNPM MP kepada masyarakat luas di Kelurhan Jebres terutama kepada sasaran PNPM MP adalah dengan “Pekan Sosialisasi Massal”.

Pelaksanaan Pekan Sosialisasi Massal ini bertujuan; Pertama, media memperluas informasi kepada seluruh mayarakat. Kedua, pendukung kegiatan sosialisasi awal di tingkat kelurahan. Ketiga, sarana memperkenalkan PNPM MP secara lebif vareatif. Keempat, langkah awal mendorong ketertarikan masyarakat mengetahui lebih lanjut tentang PNPM MP dengan harapan timbulnya keterlibatan masyarakat dalam rangkaiaan pelaksanaan PNPM MP.

Agar diperoleh hasil kegiatan yang memuaskan perlu dilakukan persiapan-persiapan dan perencanaan yang matang. Salah satu persiapan yang dilakukan adalah koordinasi dengan Panitia HUT Kemerdekaan RI ke-64 Kelurahan Jebres. Kegiatan koordiansi yang dilaksanakan pada; Kamis, 6 Agustus 2009 jam 20.00 WIB di Pendapi Alit Kelurahan Jebres menyepakati hal-hal sebagi berikut: (1) LKM Mitra Sejahtera Kelurahan Jebres diberi kesempatan terlibat dalam kegiatan Jalan Sehat yang akan dilaksanakan pada; Minggu, 16 Agustus 2009 mulai jam 06.00 WIB. (2) LKM Mitra Sejahtera menyiapkan; 2 buah hadiah seharga @ Rp 100.000,- dan 4 buah hadiah seharga @ Rp 50.000,- (3) LKM Mitra Sejahtera diberikesempatan memasang dua buah vertical banner di kiri kanan panggung. (4) Proses undian dan pengambilan Hadiah diserahkan LKM Mitra Sejahtera (diberi waktu sekitar 20-30 menit).

Kegiatan Jalan Sehat di Kelurahan Jebres dilaksanakan pada: Kamis, 16 Agustus 2009 dengan mengambil start-finish di depan Pendapi Alit Kelurahan Jebres berlangsung cukup meriah karena mendapat apresiasi warga, tidak kurang dari 2.000 orang menghadiri kegiatan rutin tahunan itu. Walaupun jika dibanding tahun-tahun sebelumnya mengalami penurunan jumlah peserta.

Dalam kata sambutannya Drs Tamso (Kepala Kelurahan Jebres) mengajak warga Kelurahan Jebres untuk senantiasa menggelokaran semangat nasionalisme dan cinta tanah air serta menginformasikan kepada peserta mengenai cara pendaftaran Jalan Sehat yang menggunakan photo copy KTP atau identitas lainnya, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang menggunakan kupon.

Pengibaran bendera start yang dilakukan Drs Tamso (Kepala Kelurahan Jebres) didampingi Honda Hendarto (Ketua LPMK), Tri Sapto Handoyo (Ketua Paguyuban RW) dan Teguh Sarosa (Ketua Panitia HUT RI) berlangsung tapat jam 07.00 WIB.

Jarak tempuh sekitar 4 km dengan route; sepanjang jalan Depan RS Pusat Dr Moewardi - ISI Solo - Petoran dan Polsektabes Jebres dapat berlangsung tertib dan lancar karena dipandu langsung oleh Linmas dan Polmas serta panitia.

Pada saat pengundian hadiah, peserta yang meluber hingga jalan di depan Pendapi Alit berjalan tertib dan semakin meriah karena disuguhi Musik Campursari Chandra Nada.

Hadiah Utama berupa Mesin Cuci (Ir Joko Widodo, Walikota Surakarta), TV Berwarna 21” (FX Hadi Rudyatmo, Wawali), Sepeda Gunung, TV Berwarna 19”, DVD, Rice Cooker dan puluhan hadiah hiburan lainnya.

LKM Mitra Sejahtera yang mendapat waktu sekitar 30 menit memanfaatkan momen Jalan Sehat untuk memberi informasi dan melakukan sosialisasi sambil melakukan dalog interaktif dengan peserta. Enam pertanyaan yang dilontarkan Kun Prastowo, Anggota LKM Mitra Sejahtera yang memandu acara dapat dijawab dengan baik oleh peserta.

Contoh pertanyaan yang alontarkan, seperti; Apa kepanjangan dari PNPM MP, LKM, Apa nama LKM di Kelurahan Jebres, Apa kepanjangan Gerbang Gakin Juritera dan dua peserta yang memberi komentar tentang pelaksanaan PNPM di Kelurahan Jebres.

Walaupun dapat berlangsung baik dan lancar, namun Pekan Sosialisasi Massal ini masih menghadapi kendala, diantaranya; waktu persiapan yang mepet, sehingga tidak dapat merancang kegiatan agar lebih maksimal. Peserta Jalan sehat tidak merata, tidak semua warga Basas/RW mengikuti. Dari 36 Basis/RW di Kelurahan Jebres, sekitar 12 Basis/RW tidak mengkiuti karena lokasi start finish yang cukup jauh dan adanya kegiatan yang sama (Jalan Sehat) di beberapa Basis/WR pada waktu yang bersamaan.

Lebih efektif bila sosialisasi melibatkan warga di masing-masing Basis/RW, disamping lebih interaktif, juga akan lebih lama ketersediaan waktu. Materi yang disampaikan juga lebih luas. Perlu dilakukan penyesuaian masing-masing LKM (kelurahan) agar sosialisasi bisa tepat sasaran. Perlu penambahan anggaran, minimal 100.000 tiap-tiap Basis/RW.

Kemiskinan adalah Residu Sistem

Diposting oleh Solo Mata Jawa | 09.03

Kemiskinan bukan (lagi) hal yang alamiah. Ia diciptakan. Ia adalah produk dari suatu permainan politik yang nyaris kalis untuk dibaca. Betapa sakitnya menjadi miskin, betapa sakitnya terbuang di tengah zaman. Kita bahkan tak menyadari apa yang dicokolkan pada akal dan jiwa kita, sebab otak yang tercecer ke dalam mesin pabrik, tak ada yang mau memungutnya kembali.

Maka setiap tetes darah yang tertumpah dari suatu pembunuhan keji, setiap rasa lapar yang merenggut sebuah nyawa, bukanlah kehendak atau takdir tuhan, tapi akibat ketidakpedulian dan kekejaman hati yang dibentuk secara sistematis.

Lihat bagaimana lapar melahirkan hasrat membunuh. Lihat bagaimana kasih sayang dipraktekan dalam tindakan mutilasi. Lihat bagaimana struktur ekonomi memproduk setiap tetes otak kita, membungkusnya ke dalam kemasan kaleng atau plastik lalu menjejalkannya ke dalam batok kepala kita.
Siapa yang menciptakan krisis ekonomi? Jawabannya; tak seorang pun kalangan ekonomi rendah yang menciptakannya. Orang-orang papan ataslah yang menciptakan semua itu. Sektor-sektor ekonomi makro-lah yang menciptakannya; pasar saham, industri dan korporasi multinasional, giga ekspor-impor, kompetensi bank internasional, persaingan militer yang banyak memakan biaya, dan seterusnya.

Tidak mungkin anda tukang angkringan, pedagang lotek, nasi sayur, bakul jamu gendong, buruh pabrik, atau mandor pasar Bringharjo yang melakukannya. Kita terlalu kecil untuk mempola dunia ini. Tapi kitalah yang merasakan akibat terparah dari semua krisis keparat itu.

Jangan bicara soal krisis moral. Sebab yang ada adalah krisis ekonomi yang merusak moral. Jangan ceramahi orang lapar dengan anjuran kebersihan hati, sebab yang lebih membutuhkan itu adalah para eksekutif perusahaan raksasa yang saat ini sedang duduk nyaman dengan wajah tanpa dosa. Rakyat sudah saatnya marah dengan cerdas. Marah terhadap nasib mereka sendiri, terhadap kebodohan mereka sendiri.

Dan jangan anda mengira saya menulis seperti ini karena sok pahlawan. Absolutely No. Justru sebaliknya, saya hanya salah seorang korban dari jutaan korban lainnya. Dan mohon mengertilah bagaimana perasaan para korban pada umumnya. Saya tidak bisa berpura-pura objektif dan berkepala dingin sebagaimana kaum akademisi pengecut yang tertawa-tawa dengan kebersihan hati di balik menara gading universitasnya.

Apalah dunia bagi kita yang hanya bisa berkata-kata, kata seorang teman. Tapi saya lebih memilih untuk meyakini selarik kalimat yang diucapkan tokoh V dalam film “V for Vendetta” yakni “bila tongkat pemukul diganti dengan kata-kata, maka ia akan tetap mempertahankan kekuatannya”.

Lalu apakah yang kita—para korban—inginkan? Kaya, sejahtera, dan jauh dari huru hara. Itulah utopia yang mengandung kebenaran, meski barangkali nyaris mustahil, kecuali jika kita bisa mempertahankan sesedikit apapun yang kita punya, dalam wilayah pribadi kita sendiri. Dan menikmatinya dengan segenap rasa syukur. Tapi sesungguhnya struktur ekonomi apakah yang kita inginkan? Yang kita butuhkan?

Tak lain adalah sistem ekonomi yang terus-menerus terdesentralisasi (ini juga kata salah seorang teman saya). Pokok permasalahan sistem ekonomi kapitalisme saat ini adalah, ia memiliki titik pusat yang sulit dilacak dan terus menerus melakukan peneguhan diri secara serakah. Silahkan pembaca membuktikannya sendiri. Saya hanya curiga, jangan-jangan perusahaan-perusahaan komunikasi komersial kita telah menyerap banyak omset secara “heroik” dari rakyat nusantara ini di saat yang tepat, yakni saat masyarakat kita tengah asil-asiknya euphoria dengan gaya hidup komunikasi.

Setelahnya, perusahaan-perusahaan itu melakukan penurunan harga komoditas yang terlihat seolah-oleh murah hati, padahal itu sewajarnya saja jika kita memabandingkannya dengan situasi pasar negara-negara lain. Pasar memang selalu lebih pintar dari kita. Pasar selalu mampu berfikir dua langkah lebih maju dari kita, itu kenyataannya. Pembeli adalah raja tolol yang dibodohi setiap saat, entah oleh siapa. Itu salah satu taktik peneguhan diri yang mereka lakukan.
Namun dalam sistem ekonomi yang long time decentralization, pasar ditentukan oleg hukum keseimbangan dan equilibrium social principle. Jadi bukan pasar bebas sebagaimana yang tengah berkembang biak saat ini. Dalam pasar bebas, penekanan pola pasar sesunguhnya berujung tombak pada persaingan kekuatan modal dan hak privat-individual. Namun dalam pasar desentralisasi, dari omset berkala setiap perusahaan dikenakan kewajiban sumbangan publik dalam jumlah yang signifikan. Untuk menangani ini, tentunya dibutuhkan suatu badan khusus yang memiliki loyalitas, komitmen, transparansi dan akuntabilitas terhadap publik luas.

Diantara pembaca barangkali ada yang teringat dengan kalimat “kapitalisme harus mawas diri”, sebuah usaha dan harapan yang telah dirintis sejak tahun 80-an oleh kalangan pemikir ekonomi sosialis. Richard De Vos pernah mengusulkan konsep “compassionate capitalism” atau kapitalisme yang memiliki kasih sayang. Dia menganjurkan agar kapitalisme memiliki kepedulian sosial. Memungkinkah jika kita merevitalisasi usaha ini di bumi nusantara? Mumpung, kapitalisme global masih berjalan dalam tahap awal di tanah kita ini.

Membayangkan sistem ekonomi yang terus-menerus terdesentralisasi, saya hanya bisa membayangkan munculnya kembali sistem koperasi yang pernah tumbuh subur dan masif di Indonesia pada dasawarsa 50-an. Sistem koperasi selalu dibatasi sekaligus dilengkapi dengan kewajiban saling membantu. Inilah yang menarik darinya. Namun kita juga perlu kembali meneroka catatan sejarah kita tentang mengapa sistem koperasi tersebut kemudian malah menyusut drastis dan selanjutnya hanya memainkan peranan kecil saja dalam kehidupan ekonomi kita sekarang.

Dengan melihat banyaknya pergerakan eksotopis di banyak lini yang mulai memiliki daya tawar politik yang lumayan, kita mungkin bisa memberi kesempatan pada kapitalisme sekali lagi untuk mawas diri. Bila dia tetap bebal, maka yang akan kita berikan pada mereka adalah mata pisau dari amukan massa yang tak bisa terbendung lagi.

Garis Kemiskinan Kedaluwarsa

Diposting oleh Solo Mata Jawa | 08.58

Standar garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 182.636 per kapita per bulan tidak sesuai dengan kondisi riil saat ini. Standar BPS itu dibuat sebelum harga BBM naik dan tingkat inflasi belum setinggi sekarang, yang sudah mendekati angka 10 persen. Untuk itu, BPS diminta jujur menerapkan kriteria ilmiah dalam menetapkan garis kemiskinan yang rasional dan tidak ikut-ikutan mempolitisasi angka kemiskinan.

Demikian rangkuman pemikiran anggota Komisi XI DPR RI, Dradjad H Wibowo, peneliti senior dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI), Wijaya Adi, pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU) Jhon Tafbu Ritonga, serta pengamat sosial politik yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr Muhadjir Effendy, beberapa waktu lalu.

Dradjad mengatakan, penetapan garis kemiskinan sebesar Rp 182.636 per kapita per bulan oleh BPS belum bisa dikatakan ideal. Pemerintah masih dapat menaikkan garis kemiskinan itu. Angka yang dikeluarkan BPS masih harus dipertanyakan dan masih jauh di bawah standar internasional.

Menurutnya, ada empat hal yang harus diperhatikan pemerintah ketika akan menetapkan garis kemiskinan. Pertama, tingkat inflasi riil yang dirasakan masyarakat. Kedua, daya beli riil masyarakat. Ketiga, pertimbangan tingkat pendapatan secara nasional, dan keempat, pola konsumsi masyarakat.

Drajad menegaskan, garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS masih relatif rendah. Hal yang menjadi persoalan adalah cara mengimplementasikan dalam variabel konkret di lapangan.

Permasalahan selanjutnya terkait dengan ukuran angka rupiah dengan variabel tepat di masyarakat yang menjadi daerah abu-abu dan sering dipermainkan oleh BPS. Hal itu terkait dengan persoalan kredibilitas BPS. Sehingga, dikemukakan angka kemiskinan yang seolah-olah mengalami penurunan, tuturnya.

Persoalan seperti itu, lanjut Dradjad, memerlukan penyelesaian secara akademis. Begitu juga dengan perlunya menaikkan angka garis kemiskinan yang merupakan sebuah pertanyaan ilmiah dan harus dijawab secara teliti.

Selaras dengan itu, Wijaya Adi menyatakan, angka minimal garis kemiskinan adalah Rp 195.000 per kapita per bulan. Bahkan kalau melihat tingginya tingkat inflasi saat ini, angka garis kemiskinan seharusnya bisa lebih dari itu.

Wijaya mengatakan, standar garis kemiskinan sangat rentan terhadap inflasi. Karena itu, BPS seharusnya memperhatikan faktor inflasi ini sebelum menetapkan angka garis kemiskinan.

Bisa saja dalam setahun ada revisi beberapa kali untuk menyesuaikan dengan tingkat inflasi yang ada. Standar saat ini yang dibuat saat inflasi masih 6 persen, tidak lagi bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya, tegasnya.

Menurut Wijaya, selama ini penduduk miskin senantiasa menjadi objek bukan subjek dalam pembangunan. Penduduk miskin selalu menjadi komoditas politik, terutama menjelang pemilu. Sebenarnya cara termudah untuk mengurangi data statistik penduduk miskin adalah dengan menetapkan garis kemiskinan pada titik yang paling rendah. Bikin saja standar kemiskinan Rp 50.000 per kapita per bulan, maka penduduk miskin akan hilang semuanya, ujar Wijaya menyindir.

P2E-LIPI dalam kajiannya beberapa saat setelah kenaikan harga BBM Mei 2008 lalu, memperkirakan bahwa warga miskin tahun 2008 ini akan bertambah menjadi 41,7 juta orang (21,92 persen). Angka itu berarti ada kenaikan penduduk miskin sebesar 4,5 juta dibandingkan posisi 2007.


Pemerintah Mengada-ada

Jhon Tafbu Ritonga mengatakan, bila dilihat secara rata-rata, umumnya pengeluaran orang miskin sebesar Rp 288.000 setiap bulan. Karena itu, standar garis kemiskinan yang tepat seharusnya Rp 9.600 per kapita per hari. Dengan demikian, sasaran pengentasan kemiskinan akan lebih realistis, katanya.

Seorang petani di Deli Serdang, Herman Saleh (46) menambahkan, zaman sekarang sudah tidak ada lagi warga yang bisa hidup dengan pendapatan Rp 182.636 per bulan. Apalagi dengan kenaikan harga BBM serta kenaikan harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini.

Patokan kemiskinan pemerintah sangat bertolak belakang dengan kenyataan di masyarakat. Dengan penghasilan Rp 300.000 saja setiap bulannya, ditambah BLT pemerintah, tidak cukup untuk keperluan rumah tangga. Banyak yang harus dibeli, termasuk biaya sekolah anak dan keperluan lainnya. Mungkin tidak ada lagi warga yang berpenghasilan Rp 182.636 setiap bulannya. Pemerintah jangan mengada-ada, katanya.

Muhadjir Effendy menegaskan, garis kemiskinan BPS telah mengalami pengaburan, distorsi, dan penyimpangan terhadap realitas kemiskinan di Indonesia. Karena itu, sebaiknya pemerintah tidak malu-malu menerapkan dobel kriteria, yakni kombinasi antara metodebasic need approach dan income approach.

Kita tidak usah malu-malu, jika dari metode kombinasi itu nantinya terdapat banyak warga kita yang masuk kriteria miskin. Pemerintah dan bangsa Indonesia tidak perlu malu, karena dengan begitu dapat menyelesaikan per- soalan kemiskinan ini dengan jujur, katanya.

Ia mengingatkan, kalau kita jujur menyajikan data akan memudahkan menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Tetapi sebaliknya kalau kita tidak jujur, permasalahan pasti akan berkepanjangan. Bahkan dalam tingkat yang ekstrem bisa dituding sebagai kebohongan publik.

BUKA MATA, BUKA TELINGA… (2)

Diposting oleh Solo Mata Jawa | 08.52

Dade Saripudin, Askot Kabupaten Sukoharjo

Pak Kun, mungkin tidak hanya buka mata, buka telinga tapi yang lebih penting bagaimana bisa BUKA HATI.

Terkait solo apakah masih perlu program pengentasan kemiskinan, saya rasa selama masih ada warga miskin di kota solo, keberpihakan pemkot, masyarakat peduli dan lembaga lain masih menjadi prioritas utama.

Saya sedikit menyitir hasil Opini Mas Lili Kristianto (peneliti Lab. Urban Crisis dan Community Development) menilai terkait penanggulangan kemiskinan terutama program-program pemberdayaan, pelaksanaanya masih menghadapi kendala dan tantangan. Banyak program yang masih bersifat parsial sektoral dan kurang terintegrasi, kurang terpadu, kurang terkoordinasi dan tidak sinergis, serta kurang fokus pada akar permasalahan kemiskinan itu sendiri.

Mas lilik memberikan ide bagaimana strategi sinergi penanggulangan kemiskinan itu sendiri di Kota Solo.

Pertama, Memperkuat peran tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah (TKPKD) kota Solo dalam membangun komitmen bersama dan memperluas dukungan stakeholder (SKPD, DPRD, Pengelola PNPM, Akademisi, LSM, Pengusaha dan sebagainya) terkait penanggulangan kemiskinan dan peningkatan indeks pembangunan manusia yang menitik beratkan pada pelaksanaan pencapaian tujuan Millenium Development Goal's (MDG's).

Kedua, Memperkuat peran TKPKD dalam menyusun strategi dan kebijakan, perencanaan, pemantauan dan evaluasi; dan mekanisme sinergi program-program pengentasan kemiskinan. Menginisiasi penyusunan base line peta dan jumlah penduduk miskin serta rencana program jangka menengah/tahunan program penanggulangan kemiskinan (PJM/Tahunan Pronangkis secara partisipatif).

Caranya melibatkan seluruh stakeholder pendukung dan utamanya warga miskin. Lalu mengembangkan jaringan kebijakan untuk mendukung terealisasinya pro-poor policy dan pro poor budgeting yang berkelanjutan.

Ketiga, Sinergi antar program. Perlu menyingkronkan dan menyinergikan program-program penanggulangan kemiskinan yang ditangani PNPM dengan program yang sudah ada seperti DPK, RTLH, KUBE, Koperasi, Pemberian makanan Tambahan (PMT), P2MBG dan sebagainya. Kemudian melakukan sinkronisasi perencanaan PNPM dalam perencanaan pembangunan di tingkat Kelurahan dalam musrenbangkel.

Kedepan program DPK lebih baik difokuskan pada program unggulan (potensi) kelurahan, peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat/organisasi/kelompok sosial, program pengembangan budaya lokal dan program-program pendukung program pemkot seperti Kota Layak Anak.

Sedangkan PNPM lebih diarahkan untuk memperbaiki insfrastruktur dan sanitasi masyarakat, peningkatan SDM, pelatihan keterampilan dan pemberdayaan ekonomi. Program KUBE diarahkan pada kelompok usaha kecil yang sudah dibina oleh PNPM atau yang tidak dijangkau oleh PNPM.

Keempat, Meningkatkan peran LPMK untuk membangun koordinasi dan kolaborasi antara BKM/LKM, Pokja, Pengurus KUBE, Koperasi dan Lembaga yang lain, meningkatkan partisipasi warga miskin selaku kelompok penerima manfaat dalam pelaksanan program.

Akan lebih baik, jika kelurahan membentuk tim sinergi pemberdayaan masyarakat yang berperan mengembangkan sinergi program-program pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan di tingkat basis.

Mari Kita Wujudkan PNPM di Kota Surakarta menjadi Lebih Baik......
Solo Kreatif Solo Sejahtera......

"Kelak kemiskinan hanya akan tinggal menjadi buah bibir sejarah dan dongeng bagi anak cucuk kita. Bahwa dulu ada kisah "orang miskin" di dunia. Kemudian,diakhir pekan yang indah, para orangtua dan guru akan mengajak anak-anak mereka, untuk berlibur dan jalan-jalan ke "musieum kemiskinan" yang kita bangun itu".

BUKA MATA, BUKA TELINGA… (1)

Diposting oleh Solo Mata Jawa | 08.37

Meneropong Polemik PNPM MP di Kota Solo:

Berikut adalah pendapat saya, ketika polemik PNPM MP di Kota Solo mencapai puncak-puncaknya, sekitar Maret 2009 lalu. Namun tidak sempat saya sampaikan ke media karena rasa 'pekewuh' dan keinginan meredam suasana.

Namun, permasalahan itu bisa jadi akan meninggalkan preseden untuk wilayah lain.

Bila saat ini saya kirim ke web ini, semata-mata hanya untuk mewacanakan agar tidak terjadi di daerah lain, dan terkhusus sebagai penambah informasi bagi masyarakat Kelurahan Jebres dalam mengawal perjalanan PNPM MP.

Paparan Wawali di depan Camat, Lurah dan LPMK di Balai Tawang Arum, Kamis (27/11) waktu itu, lebih tepat sebagai justifikasi, dibandingkan ‘amanah’ sebagai Wakil Walikota. Akan lebih bijak manakala Wawali ‘waktu itu’ memerintahkan Kepala Dinas, Camat, Lurah dan LPMK melakukan kajian ilmiah yang komprehenship dan terintegrasi yang melibatkan semua unsur masyarakat untuk mendudukkan pokok masalah secara proporsional agar didapat jawaban yang tepat dan akurat akan kemanfaatan PNPM MP maupun perlu tidaknya dilaksanakan PNPM MP di Kota Solo.

Bagi masyarakat Solo sebagai pihak yang akan dirugikan secara langsung atas sikap kontroversi itu, diibaratkan seperti; pelanduk terjepit diantara pertarungan dua ekor gajah! Polemik yang dipermasalahkan Wawali terhadap kinerja Tim Konsultan PNPM MP, pada akhirnya jangan sampai masyarakatlah yang akan menerima imbasnya.

Pada dataran ini masyarakat harus diberi kesempatan berfikir kritis dan berpendapat --terlepas dari tendensi politik, primordial, dan lainnya-- secara netral, ilmiah dan alamiah. Bila perlu melakukan Rembug Kesiapan Warga (RKM) di masing-masing kecamatan agar diperoleh kesimpulan sehingga dapat memberi masukan maksimal dan menjadi dasar pijakan atas kebijakan yang akan diambil Wawali.

Mundur selangkah untuk berlari beribu langkah tentu lebih bijak daripada grusa-grusu menyikapi sesuatu yang cukup penting.

Pertanyaan mendasar yang perlu mendapat jawaban secara akurat dan ilmiah adalah; Pertama, Masih perlukah program pengentasan kemiskinan di Kota Solo? Kedua, Apakah program-program pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan Pemkot Solo selama ini telah tepat sasaran dan bermanfaat secara maksimal? Ketiga, Apa kendala dan permasalahan yang menghambat pelaksanan program-program pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan Pemkot Solo tersebut? Keempat, Apakah sudah sepantasnya ‘wong cilik’ mendapat prioritas penanganan? Kelima, Apa penanganan (emergency policy) bagi ‘wong cilik’ di Kota Solo dalam kondisi krisis keuangan global ini?

Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu Pemkot dan masyarakat Kota Solo yang harus menyiapkan dan memaparkan. Sementara jawaban dari pihak lain seperti pemerhati, pengamat maupun peneliti diharapkan dapat membuka mata hati dan akan menjadi rujukan ketika disertakan data dan fakta ilmiah hasil kajian yang mendalam dan menyeluruh. Adapun peran media sebagai mediator akan lebih tepat ketika mengedepankan jurnalistik presisi dan jurnalistik profetik berdasar kajian atas data dan fakta serta memberi solusi konstruktif.

Adapun jawaban untuk sumber anggaran yang masih tarik ulur dengan Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) atau block grant tentu masih bisa dikompromikan dengan mengurangi dana untuk proyek-proyek mercusuar, sedangkan pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut tentu dapat dikondisikan melalui sosialisasi oleh TKPKD karena hal itu masuk dataran teknis.

Dalam istilah sepakbola; Pak Rudy jangan sampai melakukan ‘blunder’ jelang pesta demokrasi. Akan sangat disayangkan; Nila setitik merusak susu sebelanga. Kerja keras dan prestasi hebat yang ditunjukkan Wawali selama ini rusak karena ‘sesuatu’ yang masih bisa diperbaiki dan dikompromikan.

Sinkronisasi masalah dengan target tidak merugikan kepentingan warga masyarakat tentu akan menjadi budaya konstruktif dialogis yang indah, semoga akan dipetik banyak pengalaman atas polemik dan kontroversi pelaksanaan PNPM MP. Buka mata, buka telinga, demi ‘wong cilik’ se Kota Solo….

BLM Termin I Telah Dicairkan

Diposting oleh Solo Mata Jawa | 14.35

Belum semua usulan kebutuhan dari tingkat Basis/RW dalam hal penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Jebres dapat direalisasikan.

PNPM Mandiri Perkotaan sebagai salah satu program penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan pemerintah; ‘hanya’ memberi stimulan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) untuk Kelurahan Jebres yang dikelola LKM Mitra Sejahtera sebesar 350 juta rupiah dengan perincian; Termin I sebesar 102 juta rupiah untuk Daya Lingkungan (Pembangunan Sarana & Prasarana Fisik), Termin II sebesar 175 juta rupiah berupa sharing programe Pemkot Solo untuk Daya Sosial (Dana Operasional Posyandu Balita, Lansia serta RTLH) dan Termin III sebesar 67 juta rupiah untuk Daya Ekonomi (Pinjaman Dana Bergulir), sementara 10 juta rupiah dialokasikan untuk Beaya Operasional.

Disisi lain; masyarakat Kelurahan Jebres melalui Pemetaan Swadaya di tingkat Basis/RW untuk menanggulangi kemiskinan dalam rentang waktu selama 3 tahun membutuhkan dana tidak kurang dari 1,6 milyar. Untuk itulah, kerja keras LKM Mitra Sejahtera dan sengkuyung warga Kelurahan Jebres yang akan menjawabnya.

Agar pemanfaatan Dana BLM dapat tepat guna dan tepat sasaran, LKM Mitra Sejahtera melalui pertimbangan dan survey langsung ke lapangan (transek) akhirnya mengalokasikan dana tersebut sesuai prioritas usulan.

Pencairan Dana BLM termin I untuk Daya Lingkungan telah dimanfaatkan dan diterima masing-masing KSM pada Jumat (7/8) lalu. Penyerahan itu dihadiri Drs Tamso (Kepala Kelurahan Jebres), Honda Hendarto (Ketua LPMK), Sunarto (Ketua LKM Mitra Sejahtera) beserta anggota LKM, UPL, Faskel, tokoh masyarakat dan KSM.

“Dana sebesar 102 juta rupiah akan dimanfaatkan sesuai prioritas yang telah diputuskan perwakilan warga beberapa waktu lalu,” tutur Sumardi, Unit Pengelola Lingkungan.
Sebagai prioritas usulan warga, pembangunan saluran air dan gorong-gorong mendapat porsi utama, dialokasikan di Basis/RW: 2, 3, 5, 7, 8, 9, 11, 20, 21, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 35, dan 36 dengan total beaya mencapai 82 juta rupiah atau semua Basis/RW yang mengusulkan dapat direalisasikan. Walau hingga dana dicairkan, Basis/RW 3, 21 dan 32 belum menyelesaikan proposal.

Usulan pembangunan jalan kampung (pavingisasi) baru dapat direalisaikan di RT 03 RW 22 senilai 7,7 juta rupiah. Sementara, pembangunan fasilitas MCK dialokasikan di RW 8, RW 27 dan RW 36 total berjumlah 13,3 juta rupiah.

Untuk Daya Sosial, LKM Mitra Sejahtera mendapatkan pagu dana sebesar 175 juta rupiah yang bersumber dari Pemkot Solo (sharing programe) akan diperuntukkan: (1) Dana operasional Posyandu Balita untuk 37 Posyandu Balita masing-masing mendapatkan 1,8 juta rupiah total berjumlah Rp 66,6 juta rupiah.
(2) Dana operasional Posyandu Lansia untuk 23 Posyandu Lansia masing-masing mendapatkan 1,2 juta rupiah total berjumlah 27,6 juta rupiah.
(3) Pembangunan RTLH; mendapat kuota sebanyak 40 unit masing-masing senilai 2 juta rupiah total berjumlah 80,8 juta rupiah.
“Khusus Dana termin kedua yang diperuntukkan Daya Sosial, karena berupa sharing programe dari Pemkot Solo, hingga saat ini dalam proses menunggu mekanisme dan waktu pencairannya, diharapkan awal bulan Agustus ini sudah ada kejelasan dan segera dapat dimanfaatkan,” tutur Koordinator LKM Mitra Sejahtera, Sunarto.
Bahkan, menurut informasi dari DKK untuk Kelurahan Jebres terdapat dua Posyandu yang tidak memenuhi persyaratan karena baru setahun berdiri.

Sementara, untuk Daya Ekonomi tersedia dana sebesar 67,5 juta rupiah diperuntukkan Dana Pinjaman Bergulir sehingga tersedia sekitar 135 paket pinjaman apabila masing-masing peminjam maksimal memperoleh 500 ribu rupiah.
“Mekanisme peminjaman dan KSM yang akan memperoleh Dana Pinjaman Bergulir tersebut sedang kita proses, kita harapkan sekitar bulan September-Oktober sudah dapat dimanfaatkan,” jelas Unit Pengelola Keuangan, Wiratno.

Kemiskinan dan Paradigma Kota Solo

Diposting oleh Solo Mata Jawa | 02.34

Motivasi dan pemahaman warga masyarakat terhadap PNPM Mandiri Perkotaan ibarat rintik hujan. Kadang hadir dengan deras berbarengan gelegar petir, kadang rintik-rintik tipis seperti embun. Faktor penyebab perbedaan pemahaman dan naik turunnya motivasi warga adalah perbedaan visi tentang penanggulangan kemiskinan itu sendiri.

Perbedaan dan permasalahan yang melingkupi pelaksanaan tahapan PNPM Mandiri Perkotaan di masyarakat merupakan dinamaika yang harus disikapi secara arif oleh semua pihak.

Perubahan dalam setiap sisi kehidupan tentu akan menimbulkan pro dan kontra serta akan menimbulkan berbagai polemik baru, apalagi perubahan menuju sebuah tatanan baru demi kebaikan maka tingkat permasalahan dan kendalanya akan semakin kompleks.

Di dataran Pemerintah Kota Solo sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam hal regulasi dan kebijakan terhadap PNPM Mandiri Perkotaan terlihat masih ada unsur kepentingan politis dengan dalih; bahwa Pemkot telah memiliki program tersendiri untuk menanggulangi kemiskinan. Hingga dana pendampingpun yang sebesar 50% sebagai prasyarat kesanggupan Pemerintah Kota Solo menerima PNPM Mandiri Perkotaan masih dilakukan tarik ulur dalam bentuk sharing programe berupa; Dana Operasional Posyandu Balita/Lansia, Program Makanan Tambahan Posyandu Balita/Lansia, dan Renovasi Rumah Tidah Layak Huni (RTLH).

Bila ditilik dan dipahami dari kaca mata model penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan PNPM Mandiri Perkotaan maka dana pendamping yang berbentuk sharing programe layak dipertanyakan karena: (1) Bersifat Top down bukan Buttom up, sehingga program yang ditawarkan Pemkot belum tentu sesuai kebutuhan masyarakat (2) Sharing programe jelas-jelas tidak sesuai dengan esensi PNPM MP (3) Menutup kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi/ menentukan kebijakan (4) Dana operasionalnya bagaimana?

Pertanyaan lain yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman Pemerintah Kota terhadap PNPM Mandiri Perkotaan itu sendiri, kasus yang terjadi di Kota Solo merupakan bukti bahwa otonomi daerah masih dipahami pemerintah kabupaten/kota sebagai kewenangan absolut tanpa batas dan kompromi, hingga akhirnya terkesan menghasilkan ‘raja-raja’ kecil.

Pemerintah Kota Solo terlihat tidak memberi kesempatan warga untuk menentukan kebutuhannya dan masih memandang warga masyarakat sebagai obyek pembangunan.

Ternyata, paradigma lama masih mengakar di daerah walaupun Era Reformasi telah beranjak menuju tahun ke-11. Kondisi inilah yang menjadi penghalang utama bagi penerapan PNPM Mandiri Perkotaan di daerah, sehingga transformasi sosial yang diharapkan menjadi output maksimal PNPM Mandiri Perkotaan nampaknya tidak akan berjalan mulus.

Kondisi serupa juga terjadi di tingkat Basis/RT/RW walau dalam bentuk dan porsi yang berbeda. Masyarakat telah terpola dengan model pembangunan instan sehingga dalam setiap pengambilan keputusan tergesan pragmatis dan cari gampangnya saja.

Sebagi contoh adalah pelaksanaan Pemetaan Swadaya (PS), Pemetaan Swadaya merupakan tahapan dari PNPM Mandiri Perkotaan yang dilakukan oleh warga masyarakat tingkat Basis/RW (Tim PS) dalam rangka menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang kondisi realita yang ada saaat ini dan upaya membangun kesepakatan mengenai kondisi ideal yang ingin dicapai.

Pemetaan Swadaya seyogyanya dilakukan secara menyeluruh (integrated) dan tidak sepotong-sepotong serta melibatkan warga masyarakat, karena PS menjadi dasar atau landasan utama dalam upaya penanganan kemiskinan, sekaligus sebagai blue print bagi Pengurus RT/RW dalam menentukan arah pembangunan warganya. Itu pada dataran ideal, namun pelaksanaan di lapangan ternyata terjadi distorsi yang cukup jauh. Pemetaan Swadaya hanya dipandang sebagai sebuah usulan ‘keinginan’ warga di tingkat Basis/RT/RW bukannya kajian yang terpola sehingga menghasilkan output berupa kebutuhan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Ironisnya, Pemetaan Swadaya hanya dilakukan Ketua RW secara serampangan dalam waktu tidak lebih dari satu jam. Sehingga lumrah ketika out put kajian tertera usulan pembuatan gapura!

Sosialisasi yang telah dilakukan maupun tahapan-tahapan selanjutnya walau telah dilakukan nampaknya belum memberi pemahaman kepada masyarakat akan hakekat PNPM Mandiri Perkotaan. Konsep Tridaya; Pembelajaran, Kemandirian dan Pembangunan Berkelanjutan belum dipahami masyarakat sebagai sebuah kesatuan yang utuh, masyarakat masih memandang PNPM Mandiri Perkotaan sebagai sebuah program bagi-bagi uang, Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk kelompok, tanpa memperhatikan proses maupun kaidah-kaidah yang benar.

Alasan klasik menjadi pembenaran; tidak adanya dana pendamping untuk tingkat Basis! Motor penggerak PNPM Mandiri Perkotaan seperti Pengurus RT/RW, Relawan maupun kelompok peduli merasa keberatan bilamana harus mengumpulkan warga untuk melakukan rembug warga maupun diskusi kelompok (FGD). Karena untuk mengumpulkan warga masyarakat rasanya akan sulit (sungkan) apabila tidak diberi jamuan semisal minuman dan makanan ringan.
Beberapa cara perlu dicoba untuk meluruskan paradigma tersebut, diantaranya melalui; (1) Pembuktian bahwa PNPM Mandiri Perkotaan merupakan sebuah program pemberdayaan masyarakat yang ideal untuk mendorong masyarakat menemu kenali masalahnya dan sekaligus mencari pemecahan permasalahan yang dihadapinya. (2) Informasi lisan maupun melalui media tulisan berupa bulletin Warta Mandiri secara terus menerus, sedikit demi sedikit diharapkan pemahaman tentang PNPM Mandiri Perkotaan dapat tercapai. (3) Melakukan loby-loby dengan pihak-pihak berpengaruh dan tokoh masyarakat di tingkat kelurahan untuk secara bersama-sama mendorong masyarakat turut berpartisipasi dalam penanggulangan kemiskinan.
Kelurahan Jebres dengan penduduk dewasa hampir mencapai 23.000 jiwa yang tersebar di 36 Basis/RW merupakan wilayah kerja yang cukup luas. Bila diasumsikan 15% penduduknya masuk kriteria KK miskin, maka butuh tenaga, swadaya dan waktu yang ekstra untuk menangani masalah kemiskinannya. Permasalahan utama; makin minimnya tingkat kepedulian diantara warga sehingga sikap pragmatis dan individualistis cukup mendominasi sikap kehidupan masyarakat sebagai representasi sikap negatif bangsa Indonesia yaitu sikap hidup yang tidak suka bekerja keras, kecuali kalau terpaksa. Sikap-sikap itu menggambarkan bahwa manusia Indonesia menyenangi hal-hal yang instant dan cari mudahnya saja.

Civil society sebagaimana diidealkan PNPM Mandiri Perkotaan merupakan model pembangunan yang perlu dikembangkan hingga masa mendatang. Untuk itu hendaknya pemahaman dapat diletakkan secara sejajar antara; negara yang kuat dan masyarakat sipil yang kuat pula. Kedua perpaduan itu ibarat sekeping mata uang; sama-sama penting untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dalam arti seluas-luasnya.

Negara yang kuat dibutuhkan untuk menumbuhkan efektifitas dan efisiensi performance yang dapat mendorong partisipasi masyarakat, serta bisa menjamin hak-hak asasi manusia, keadilan sosial, dan kepentingan umum lainnya. Sedangkan masyarakat sipil yang kukuh mutlak diperlukan untuk menjadikan masyarakat yang sadar dan well informed, sehingga memahami hak-hak dan tanggung jawabnya, serta akan bertindak sebagai warga negara yang aktif.

Stephen R Covey, penulis buku The Seven Habits for Highly Effective People mangatakan: “Taburlah gagasan; petiklah kebiasaan. Taburlah kebiasaan; petiklah karakter. Taburlah karakter; petiklah hasil!”. Artinya untuk memperoleh hasil maksimal dalam penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilakukan secara instant dan serampangan. Dibutuhkan habit (pembiasaan) yang dilakukan berulang-ulang konsisten dan berkesinambungan.